Monday, October 29, 2007

QURBAN DAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL (SUPERQURBAN EDITION) PART II

Sungguh benar hal pada artikel sebelumnya. Tetapi itu baru sebatas pesan fiqh. Tentu saja masih ada pesan lain yang dapat digali, bahkan lebih urgen dalam kaitannya dengan pembangunan masyarakat bangsa ini yang terus mengalami krisis dan menderita akibat berbagai musibah yang menimpanya, baik karena bencana alam maupun ulah tangan manusia sendiri. Di samping itu, ibadah qurban dalam Islam sangat jauh berbeda dengan qurban dalam agama dan kepercayaan lain. Dalam Islam, daging qurban tidak diserahkan kepada Tuhan, sebab Tuhan immaterial tidak butuh kepada zat yang bersifat material atau kebendaan. Sebagaimana difirmankan Allah dalam al-Qur’an:


“Daging-daging (unta) dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya” (Q.S. 22/al-Hajj: 37).


Terlalu berlebihan jika ada keyakinan lain yang mempersembahkan makanan dan minuman ke tengah laut, hutan belantara, gunung, pohon tua, goa dan lain sebagainya. Daging qurban dalam Islam dinikmati oleh pelaku qurban dan sebagian besar lainnya oleh fakir-miskin yang membutuhkan.


Ketika Nabi mengatasnamakan qurbannya untuk dirinya sendiri, keluarga dan semua umatnya yang tidak mampu, beliau seakan-akan menegaskan bahwa qurban adalah ibadah sosial, bukan semata ibadah individual. Dengan ibadah qurban, seorang mukmin naik ke langit bertemu Tuhannya dengan memakmurkan bumi. Jadi, sebenarnya inti qurban terletak pada individu atau seseorang sebagai makhluk sosial. Dengan kata lain, penyembelihan qurban adalah simbolik, sementara substansinya ada pada komitmen setiap diri kita untuk membangun masyarakat yang maju dan berperadaban. Bila ibadah puasa mengajak siapa saja untuk merasakan lapar sebagaimana yang dirasakan fakir-miskin, maka ibadah qurban hakikatnya mengajak mereka untuk merasakan kenyang seperti kenyangnya perut sendiri.


Banyak orang mendekatkan diri kepada Allah dengan mengisi masjid-masjid dengan berbagai kegiatan keagamaan. Ini tentu saja tidak keliru, tetapi Islam sesungguhnya juga menganjurkan untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan mengisi perut-perut yang kosong karena lapar, kepala yang kosong karena minimnya pendidikan, dan lain-lain. Suatu ketika Nabi Musa As. bertanya: “Ya Allah, dimana aku mencari-Mu?”. Allah menjawab: “Carilah Aku di tengah-tengah orang yang hatinya hancur”. Dalam sebuah hadits qudsi, diriwayatkan bahwa nanti pada hari qiyamat Allah mendakwa hamba-hamba-Nya: “Hai hamba-hamba-Ku, dahulu Aku lapar, kalian tidak memberi-Ku makanan. Dahulu Aku telanjang, kalian tidak memberi-Ku pakaian. Dahulu Aku sakit, kalian tidak memberi-Ku obat atau menjenguk-Ku”. Orang yang didakwa itu menjawab: “Ya Allah, bagaimana mungkin kami memberi-Mu makanan, pakaian, dan obat, padahal Engkau adalah Rabbul ‘Alamin, Tuhan semesta alam”. Lalu Allah menegaskan: “Dahulu ada hamba-Ku yang lapar, telanjang dan sakit. Sekiranya kamu mendatangi mereka, mengenyangkan perut mereka yang lapar, menutup tubuh mereka yang telanjang, mengobati mereka yang sakit, niscaya kamu akan mendapati Aku di situ”.

Penulis : Alamsyah Nuruzzaman
Cabang : Bandung

No comments: