Monday, March 12, 2007

YU LEGI, PERAJIN GERABAH YANG BUTA DARI BANTUL

YOGYAKARTA. Tangan-tangan setengah keriput perempuan separuh baya itu nampak begitu terampil memenyet-menyet tanah liat yang telah mulai membentuk lempengan melingkar berdiameter 40 cm. Benda itu dibiarkan berputar di atas sebuah papan yang memang dirancang agar bisa berputar di tempatnya, untuk mempermudah pemenyetan-pemenyetan melingkar. Sementara penyetan-penyetan tangannya secara teratur mengikuti gerakan memutar papan tersebut.

Perempuan itu, Yu Legi (40 th), sedang membuat kuwali. Kuwali adalah sejenis gerabah yang secara tradisional biasanya dipergunakan untuk memasak oleh masyarakat pedesaan di Jawa. Desa tempat tinggal Yu Legi, Sumampir Panjangrejo Pundong Bantul Yogyakarta sejak lama memang terkenal sebagai produsen gerabah. Produksi gerabah di desa itu telah menjadi home industry yang terkoordinir melalui sejumlah Usaha Kecil dan Mikro (UKM). Hampir semua keluarga di sana merupakan perajin gerabah.

Yu Legi merupakan salah satu perajin gerabah di Desa Sumampir. Sekilas tidak ada yang menarik dari diri Yu Legi. Tetapi jangan salah. Ada satu hal yang membuatnya lebih istimewa dibandingkan dengan perajin-perajin lainnya. Perempun itu hidup dengan kondisi fisik tidak sempurna. Dia mengalami kebutaan sejak lahir.

“Saya tidak bisa melihat sejak lahir”, ujarnya baru-baru ini kepada koresponden majalah Rumah Lentera Rumah Zakat Indonesia.Yu Legi hidup hanya dengan ibunya yang sudah renta, Jainangun. Dia yang tidak memiliki saudara, sampai sekarang memilih tidak menikah.

Kodisi tunanetra rupanya tidak menghalangi perempuan itu untuk menjadi perajin gerabah. Kemampuannya berproduksi tidak kalah dengan perajin-perajin lain yang fisiknya normal. Yu legi mampu bekerja selama tujuh hari penuh dalam seminggu. Selama sehari dia mampu menyelesaikan 10 buah gerabah. Masing-masing gerabah itu dijual Rp. 10.000/buah. Sementara untuk modal tanah liat dia harus membeli Rp. 4.000/bakul. Satu bakul bisa digunakan untuk membuat sebanyak 50 gerabah. Dari sinilah dia memperoleh penghasilan yang tidak seberapa untuk menghidupi diri dan ibunya.

Memang, kedua tangan Yu Legi seolah memiliki mata. Ditanya bagaimana dia bisa memastikan finishing gerabah-gerabah buatannya. Dia menjawab, upaya memastikan bahwa gerabahnya sudah selesai adalah hanya dengan melalui rabaan-rabaan tangannya. Dan sejauh ini memang tidak ada masalah dengan gerabah buatannya. Kualitas ternyata tetap bagus dan tidak berbeda dengan buatan perajin lainnya.

Gempa bumi dasyat 27 Mei 2005 sempat memporak-porandakan Yogyakarta dengan menelan ribuan korban jiwa. Desa Semampir termasuk yang paling parah terkena gempa. Bangunan-bangunan rumah luluh-lantak, berbagai alat produksi kerajinan gerabah dan gerabah siap distribusi hancur berantakan. Kegiatan produksi di desa itu sempat terhenti total.

Dari sinilah Human Concern International (HCI) bersama Rumah Zakat Indonesia turun untuk memberikan suntikan modal dan menghidupkan kembali aktivitas kerajinan gerabah di desa Semampir. Ada sebanyak 5 UKM yang memperoleh suntikan modal dari HCI dan Rumah Zakat.

Yu Legi adalah salah satu anggota UKM yang memperoleh suntikan modal tersebut. Sehingga dia kini bisa kembali memproduksi gerabah ditengah keterbatasan fisiknya. Mungkin kelihatan sepele karena hanya membuat gerabah. Tetapi aktivitasnya sebagai bagian dari UKM secara tidak langsung telah turut menghidupkan dan memperkuat perekonomian negeri ini.***


Newsroom/Waluyo
Yogyakarta

No comments: